WARTASULSEL, SELAYAR – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan menurunkan tim dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XIX Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara untuk melakukan peninjauan terhadap beberapa situs cagar budaya yang terletak di Kampung Tua Saluk, Desa Bontona Saluk, Kecamatan Bontomatene, Kepulauan Selayar.
Tim Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Selatan tersebut berjumlah 4 orang, masing-masing Pamong Budaya Ahli Madya Drs. Haeruddin, M.M., dan Pamong Budaya Ahli Pertama Abdur Rahim, S.H., serta Yusuf dan Darwis selaku Polisi Khusus Cagar Budaya.
Mereka didampingi oleh Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kepulauan Selayar, Andi Nur Samsi, S.Si, M.Si., bersama Pengurus Lembaga Adat Kaopuan Saluk Selayar (LAKSS), Andi Bissu Patinnah, S.Sos.
Pamong Budaya Ahli Madya Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Selatan, Drs. Haeruddin, M.M., saat dikonfirmasi Pewarta, Senin (24/6/2024) mengatakan peninjauan dilaksanakan atas dasar surat dari pihak LAKSS untuk dilakukan pengecekan objek yang diduga cagar budaya yang ada di Desa Bontona Saluk, Kepulauan Selayar.
“Ada beberapa objek cagar budaya yang kami tinjau antara lain, Masjid Tua Al – Ula’ Saluk, Rumah Adat “Sapo Lohe” Bontona Saluk, Kompleks Makam Opu Bembeng, Kompleks Makam Opu Daeng Massese, dan 7 (Tujuh) buah sumur tua yang berada dalam satu kompleks,” ucap Haeruddin.
Dia mengungkapkan hasil peninjauan bersama timnya terhadap situs cagar budaya yang ada di Kampung Saluk. Dikatakan Haeruddin, ditemukan fakta bahwa situs cagar budaya Masjid Tua “Al – Ula’ ” Saluk memiliki ciri bangunan berbentuk persegi empat presisi dengan atap tumpang tiga.
“Model bangunan Masjid Tua Saluk yang berbentuk persegi empat dan atap masjid bertumpang ini mirip dengan masjid-masjid kuno yang ada di Pulau Jawa, Masjid Katangka di Kabupaten Gowa, dan Masjid Tua Gantarang Lalang Bata, Selayar,” jelas Haeruddin.
Sehingga, jelas Haeruddin, ciri-ciri itulah yang memang menandakan bahwa masjid itu adalah masjid tua atau masjid kuno, karena ada keseimbangan diantara bagian dari bangunan tersebut. Hal ini pula, kata dia, yang menjadi inspirasi sehingga bentuk bangunan Masjid Al-Markaz Al-Islami Makassar juga sudah seperti itu, menjadikan badan masjid berbentuk segi empat dengan atap bertumpang.
Di Pulau Jawa sendiri masjid beratap tumpang tiga seperti ini sendiri memiliki makna filosofi yang mendalam, yakni atap tumpang tiga bermakna seseorang yang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya, yaitu Islam sebagai atap dasar, Iman sebagai atap tengah dan Ihsan sebagai tap atas.
Lanjut, Haeruddin menyebut meski Mesjid Tua Saluk telah dilakukan pemugaran pada bangunannya namun desain dan dinding mesjid yang terbuat dari batu karang tetap dipertahankan. Juga adanya Bedug Tua yang masih menandakan bahwa itu adalah salah satu tinggalan masa lalu yang digunakan untuk memanggil jemaah untuk melakukan shalat atau ibadah.
Selain itu, ciri-ciri masjid kuno itu memiliki lantai bangunan yang lebih tinggi dari jalan. Artinya setiap orang yang akan memasuki masjid harus melewati tangga masjid. Ciri lainnya, memiliki ruang publik atau alun-alun disekitar bangunan masjid. “Dan hal ini juga dimiliki oleh Masjid Tua di Dusun Saluk,” beber Haeruddin.
Selanjutnya, Haeruddin bersama tim melakukan peninjauan ke Makam Opu Daeng Massese yang merupakan salah seorang tokoh yang dianggap oleh masyarakat mempunyai pengaruh yang sangat penting, utamanya terhadap pemerintahan lokal maupun terkait masalah penyiaran agama Islam.
“Jadi berdasarkan informasi, Opu Daeng Massese ini adalah selain pemimpin dengan pengaruhnya yang kuat, juga salah seorang penganjur agama Islam di daerah tersebut,” tuturnya.
Tim kemudian melanjutkan peninjauan ke sebuah makam lainnya yang berada di sebuah lokasi diatas ketinggian. Dimana oleh masyarakat Saluk menyebutnya, Makam Opu Bembeng.
Haeruddin mengungkapkan apabila lokasi dan bentuk dari sebuah pemakaman berada diketinggian, maka hal itu menandakan bahwa lokasi tersebut adalah tempat yang suci dan tokoh yang tempatkan atau dimakamkan ditempat itu adalah tokoh penting dan berpengaruh, berwibawa serta memiliki kharisma yang kuat. Karenanya, kata dia, tokoh tersebut dimakamkan ditempat yang suci.
“Seluruh agama menganut kepercayaan bahwa tempat yang tinggi itu diartikan sebagai kesucian, keagungan dan ketinggian derajat. Kenapa kemudian seorang tokoh penting selalu dimakamkan diatas ketinggian atau tempat yang tinggi salah satu alasannya adalah untuk mencapai moksa atau nirwana,” tutur Haeruddin.
Haeruddin menambahkan ia bersama tim melanjutkan peninjauan dan pengecekan terhadap 7 (tujuh) sumur tua yang jaraknya kira-kira sekitar 30 meter dibawah kemiringan lereng arah timur dari lokasi Makam Opu Bembeng. Sumur tersebut merupakan sumur tertua yang ada di Desa Bontoma Saluk.
“Sumur dan air adalah salah satu sumber kehidupan. Air adalah sesuatu yang vital dalam kehidupan manusia. Keberadaan sumur tua ini menjadi penanda bahwa ada peradaban pada masa lalu di salah satu kerajaan di Selayar ini,” terang Haeruddin.
Lebih lanjut, Haeruddin mengatakan lokus terakhir peninjauan situs cagar budaya yakni rumah adat “Sapo Lohe” Bontona Saluk. Dia mengungkap Sapo Lohe merupakan peninggalan yang sangat mencirikan bahwa bangunan itu sebuah bangunan adat yang berbeda dari bangunan lainnya.
Hal itu, kata Haeruddin, dibuktikan dengan adanya ornamen-ornamen yang memang mencirikan bahwa yang mempunyai rumah tersebut adalah bukan orang biasa, melainkan punya pengaruh kuat diwilayah itu. Seperti adanya batu pelantikan (Batu Pallantikang, dalam Bahasa Selayar) disekitar rumah adat.
“Setelah kami tinjau, rumah adat Sapo Lohe sendiri, memiliki tiang sebanyak 36 buah. Ada beberapa tiang yang berbentuk segi delapan, dan yang lainnya segi empat. Dari 36 tiang itu sudah manjadi pertanda bahwa ini juga salah satu bangunan kuno yang perlu dilestarikan,” jelas Haeruddin.
Untuk itu, Haeruddin selaku Pamong Budaya Ahli Madya Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Selatan, yang mewakili Kementerian Pendidikan, Dan Riset Dan Tekhnologi berharap kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar untuk memberikan perhatian dengan melakukan perlindungan dan pelestarian terhadap cagar budaya yang ada di Desa Bontona Saluk tersebut.
“Kami dari pihak Kementerian Pendidikan, Dan Riset Dan Tekhnologi Dirjen Kebudayaan dalam hal ini Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX, Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara berharap banyak kiranya pihak Pemerintah Dserah Kabupaten Kepulauan Selayar, sebagai pemilik cagar budaya tersebut untuk melakukan tindakan perlindungan dan pelestarian, karena dikhawatirkan cagar budaya tersebut rusak atau punah jika tidak diperhatikan,” imbuh Haeruddin.
Dia mengatakan beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Pemda Kepulauan Selayar dalam melakukan perlindungan dan pelestarian terhadap cagar budaya tersebut, misalnya dengan melakukan pemberian papan nama, papan informasi berdasarkan sejarah keberadaan cagar budaya tersebut.
“Bahkan jauh lebih bagus lagi jika Pemda Kepulauan Selayar menjadikan dan menetapkan Kampung Saluk sebagai Kawasan Cagar Budaya di Kepulauan Selayar,” ucapnya.
Haeruddin menjelaskan bahwa berdasarkan kewenangan antara pemrintah pusat dan daerah, maka tugas pokok Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Selatan terkait cagar budaya telah diserahkan sepenuhnya kepada Pemda Kepulauan Selayar. Pihaknya kini hanya memiliki tugas melakukan pendataan situs cagar budaya untuk kemudian dimasukkan kedalam data base bahwa di Kepulauan Selayar ada beberapa cagar budaya yang perlu diperhatikan.
Oleh karena itu, Haeruddin menyebut bahwa yang paling utama adalah peran Pemda Kepulauan Selayar, karena pemda-lah yang sesungguhnya mempunyai dan memiliki situs itu. Pemda Selayar melalui Tenaga Ahli Cagar Budaya (TACB) dapat melakukan penilaian terhadap cagar budaya yang ada di Bontona Saluk.
“Untuk penetapan situs cagar budaya bukan lagi oleh Kemdikbudristek, tetapi sudah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah melalui Surat Keputusan Bupati. (Tim).