Festival Taka Bonerate Tak Mempunyai Inovasi, Ini Tanggapan Masyarakat Selayar

WARTASULSEL, SELAYAR – Festival Taka Bonerate kembali diselenggarakan dengan berbagai rangkaian acara yang spektakuler. Namun, menurut salah satu tokoh masyarakat, Nur Kamar Syam, ada beberapa hal yang bisa diperbaiki untuk lebih meningkatkan daya tarik festival ini, terutama dalam upaya menarik wisatawan dari luar daerah bahkan mancanegara.

“Event ini luar biasa, dengan rangkaian acara yang juga luar biasa, tapi saya rasa masyarakat mungkin bertanya-tanya mengapa acaranya masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya,” ujar Nur Kamar Syam. Ia menyarankan beberapa ide kreatif untuk menjadikan festival ini lebih dinamis dan menarik, seperti lomba kreativitas bertema pariwisata, karnaval budaya maritim yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat dari berbagai suku yang ada di Selayar seperti Jawa, Bugis, dan Buton.

“Karnaval budaya bisa menjadi daya tarik tersendiri jika seluruh masyarakat terlibat, apalagi Selayar ini multikultural,” lanjutnya. Selain itu, ia juga mengusulkan untuk mengadakan pagelaran seni daerah seperti Batti-batti, Manca’ atau Kontau, Dide, serta lomba desain booth di lokasi event yang bisa mengangkat tema modern atau natural.

Nur Kamar Syam juga menyarankan adanya lomba bahasa asing, lomba kuliner khas daerah, dan berbagai acara lain yang lebih inovatif. “Saya rasa kita sepakat dan berharap jika event tahunan ini bisa menarik wisatawan, bukan hanya wisatawan lokal, tapi juga nasional dan bahkan mancanegara. Namun, jika suguhannya masih serupa dengan tahun sebelumnya, mungkin kurang wah,” tambahnya.

Ia menekankan pentingnya melibatkan komunitas dan organisasi setempat untuk berpartisipasi, misalnya dengan menyediakan booth yang menarik di setiap event. Selain itu, ia juga menyoroti pelaksanaan beberapa acara yang sering bersamaan, yang membuat pengunjung kesulitan memilih acara mana yang akan dihadiri.

Di pusat kegiatan yang berada di Pulau Jinato, sebaiknya konsepnya direncanakan lebih matang agar memberikan dampak positif, terutama bagi perekonomian masyarakat setempat selama dan setelah acara berlangsung, sehingga tidak ada keluhan yang muncul,” tutupnya.

Dengan berbagai masukan ini, diharapkan Festival Taka Bonerate ke depan bisa semakin meriah dan berhasil membawa Selayar sebagai destinasi wisata unggulan, tidak hanya di mata wisatawan lokal, tetapi juga dunia.

banner Umbulukumba.ac.id Asa

Penelitian Fundamental Reguler UM Bulukumba: Upaya Berdayakan Anak Tidak Sekolah di Desa Wisata Ara

WARTASULSEL, Bulukumba – Sebagai langkah memberdayakan remaja tidak sekolah, Universitas Muhammadiyah Bulukumba (UM Bulukumba) melalui skema Penelitian Fundamental Reguler dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia telah merampungkan penerapan model Bilingual Storynomics Tourism di Desa Wisata Ara, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sabtu (21/09/2024).

Puncak pelaksanaan penelitian yang digelar di Kantor Desa Ara, dilaksanakan oleh Tim Peneliti dengan Ketua Dr. Andi Nurhikmah, S.Pd., M.Pd. didampingi oleh Dr. Anugerah Febrian Syam, S.Pd., M.Pd., Andi Eritme Yustika Abrar, S.Pd., M.Pd. dan Syayyidina Ali, S.Pd., M.Hum. dari UM Bulukumba.

Ketua tim, Dr. Nurhikmah, dalam kesempatan itu menyampaikan, penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih jauh bagaimana model bilingual storynomics tourism mampu memperkuat kesadaran akan pentingnya mengembangkan wisata lokal sekaligus melibatkan anak tidak sekolah sebagai remaja sadar wisata dalam mengenal dan mendalami sejarah tempat pariwisata di daerahnya sekaligus memahami nilai-nilai budaya yang terkandung.

“Seluruh tim peneliti yakin bahwa nilai-nilai sejarah dan ekologi budaya tempat wisata yang turun temurun secara lisan diketahui oleh masyarakat di kecamatan Bontobahari dan sekitarnya dapat menjadi landasan kuat untuk mengembangkan program-program kesadaran wisata yang lebih efektif menjangkau pihak luar dan sesuai dengan nilai-nilai lokal,” ucapnya.

Dr. Anugerah, salah seorang tim peneliti mengatakan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam upaya pemberdayaan remaja tidak sekolah, dengan mengedepankan keterampilan berbahasa dalam mempromosikan nilai-nilai sejarah, situs, dan ritus tempat wisata lokal yang memang sangat kaya di Kabupaten Bulukumba ini.

“Penelitian ini juga membukukan cerita rakyat, mitos, nilai-nilai sejarah, dan cerita unik dari tempat wisata yang selama ini hanya tersampaikan secara lisan yang bertujuan untuk menjadi medium promosi wisata lokal,” lanjutnya.

Eritme anggota peneliti lainnya mengungkapkan, partisipasi aktif masyarakat, baik dari pemerintah desa Ara, komunitas lingkar remaja, remaja putus sekolah, dan kelompok sadar wisata, maupun Yayasan Pendidikan Anugerah Syam dan PKBM Afsana sebagai mitra Dinas Pendidikan dan UNICEF untuk program pengembalian anak tidak sekolah ke sekolah menunjukkan bahwa isu pemberdayaan remaja putus sekolah dan pelestarian wisata lokal merupakan perhatian bersama yang membutuhkan kolaborasi lintas sektor.

“Model storynomics tourism ini tidak hanya mengingatkan kita tentang besarnya potensi alam wisata di Bulukumba, tetapi juga menyadarkan kita betapa kayanya budaya dan nilai-nilai sejarah yang terkandung yang bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik dan mancanegara, sebutnya.

Syayyidina yang juga tim peneliti, menambahkan bahwa bilingual storynommics tourism memiliki peranan penting dalam membentuk set skill keterampilan dwibahasa yang efektif diterapkan untuk tujuan pariwisata.

“Dalam konteks ini, bilingual storynomics tourism dapat menjadi kunci untuk membangun kesadaran wisata daerah yang berkelanjutan, di Kabupaten Bulukumba” jelas Syayyidina Ali.

Sementara itu, Kepala Desa Ara Dr. H. Amiruddin Rasyid, M.Pd. menyampaikan pentingnya memahami nilai-nilai sejarah dan aspek cerita terkait wisata di daerah ini karena mengajarkan kita untuk menjaga budaya bersama dan memperkuat kesadaran akan pentingnya melestarikan nilai-nilai yang menjadi keunikan di daerah ini yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya.

“Dengan adanya penelitian ini memberi makna mendalam yang relevan dalam konteks perubahan global saat ini, di mana generasi muda harus menyadari bahwa alam merupakan warisan yang harus dijaga demi kelangsungan hidup di masa depan,” ujarnya.

Dilain pihak, Ketua Yayasan Pendidikan Anugerah Syam (YPNUSA) Dra. Bau Dahniar, M.Si. yang menaungi remaja tidak sekolah, merasa sangat terbantu dengan adanya kegiatan ini sehingga remaja tidak sekolah menjadi sadar sekaligus bangga dapat terlibat dan berpartisipasi dalam program wisata desa yang muaranya untuk memberikan keterampilan dan kecakapan hidup yang menunjang kualitas pendidikan dan akses belajar bagi para remaja putus sekolah.

Sedangkan, Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Bulukumba, Muhammad Akil, S.Sos., M.Si., di Gedung Pinisi Kantor Dinas Pariwisata menyampaikan bahwa upaya mengintegrasikan pelestarian dan penngembangan tempat-tempat wisata di Bulukumba telah dilakukan dan berupaya terus menggiatkan program berkelanjutan sehingga mampu menjangkau seluruh tempat wisata yang ada di Bulukumba.

“Namun, model storynomics tourism dengan pendekatan dwibahasa ini diharapkan mampu mengisi aspek yang memang belum disentuh dan bisa menjadi faktor lenting dalam melestarikan nilai-nilai sejarah, budaya, cerita, dan kisah dibalik tempat wisata tersebut,” katanya pada Jumat (20/09/2024).

Rangkaian pelaksanaan penelitian dengan judul “Incorporating Local Culture into Bilingual Storynomics Tourism to Develop E-Learning Module for Non-School Adolescents” juga melibatkan mahasiswa UM Bulukumba (Fahmi Aulia, Astria Amanda, Nurul Afifa Tunnisa, Yuli Yandira, Edwin, Al Ansar, dan Ince Nuraziza Imana). Keterlibatan mahasiswa sebagai pendamping remaja tidak sekolah dalam melatih keterampilan dwibahasa ini mendapat rekognisi SKS sesuai capaian penelitian. Selain itu, penelitian ini terlaksana dengan melibatkan berbagai tokoh dari sektor pariwisata dan pemberdayaan anak tidak sekolah, termasuk Dinas Pariwisata Kabupaten Bulukumba, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bulukumba, Pemerintah Desa Ara, Yayasan Pendidikan Anugerah Syam (YPNUSA), PKBM Afsana, Komunitas Lingkar Remaja, Penggiat Wisata, Praktisi Budaya, serta Kelompok sadar wisata.

 

Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XIX Provinsi Sulawesi Selatan Ingin Nobatkan Saluk Sebagai Cagar Budaya

WARTASULSEL, SELAYAR –  Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan menurunkan tim dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XIX Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara untuk melakukan peninjauan terhadap beberapa situs cagar budaya yang terletak di Kampung Tua Saluk, Desa Bontona Saluk, Kecamatan Bontomatene, Kepulauan Selayar.

Tim Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Selatan tersebut berjumlah 4 orang, masing-masing Pamong Budaya Ahli Madya Drs. Haeruddin, M.M., dan Pamong Budaya Ahli Pertama Abdur Rahim, S.H., serta Yusuf dan Darwis selaku Polisi Khusus Cagar Budaya.

Mereka didampingi oleh Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kepulauan Selayar, Andi Nur Samsi, S.Si, M.Si., bersama Pengurus Lembaga Adat Kaopuan Saluk Selayar (LAKSS), Andi Bissu Patinnah, S.Sos.

Pamong Budaya Ahli Madya Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Selatan, Drs. Haeruddin, M.M., saat dikonfirmasi Pewarta, Senin (24/6/2024) mengatakan peninjauan dilaksanakan atas dasar surat dari pihak LAKSS untuk dilakukan pengecekan objek yang diduga cagar budaya yang ada di Desa Bontona Saluk, Kepulauan Selayar.

“Ada beberapa objek cagar budaya yang kami tinjau antara lain, Masjid Tua Al – Ula’ Saluk, Rumah Adat “Sapo Lohe” Bontona Saluk, Kompleks Makam Opu Bembeng, Kompleks Makam Opu Daeng Massese, dan 7 (Tujuh) buah sumur tua yang berada dalam satu kompleks,” ucap Haeruddin.

Dia mengungkapkan hasil peninjauan bersama timnya terhadap situs cagar budaya yang ada di Kampung Saluk. Dikatakan Haeruddin, ditemukan fakta bahwa situs cagar budaya Masjid Tua “Al – Ula’ ” Saluk memiliki ciri bangunan berbentuk persegi empat presisi dengan atap tumpang tiga.

“Model bangunan Masjid Tua Saluk yang berbentuk persegi empat dan atap masjid bertumpang ini mirip dengan masjid-masjid kuno yang ada di Pulau Jawa, Masjid Katangka di Kabupaten Gowa, dan Masjid Tua Gantarang Lalang Bata, Selayar,” jelas Haeruddin.

Sehingga, jelas Haeruddin, ciri-ciri itulah yang memang menandakan bahwa masjid itu adalah masjid tua atau masjid kuno, karena ada keseimbangan diantara bagian dari bangunan tersebut. Hal ini pula, kata dia, yang menjadi inspirasi sehingga bentuk bangunan Masjid Al-Markaz Al-Islami Makassar juga sudah seperti itu, menjadikan badan masjid berbentuk segi empat dengan atap bertumpang.

Di Pulau Jawa sendiri masjid beratap tumpang tiga seperti ini sendiri memiliki makna filosofi yang mendalam, yakni atap tumpang tiga bermakna seseorang yang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya, yaitu Islam sebagai atap dasar, Iman sebagai atap tengah dan Ihsan sebagai tap atas.

Lanjut, Haeruddin menyebut meski Mesjid Tua Saluk telah dilakukan pemugaran pada bangunannya namun desain dan dinding mesjid yang terbuat dari batu karang tetap dipertahankan. Juga adanya Bedug Tua yang masih menandakan bahwa itu adalah salah satu tinggalan masa lalu yang digunakan untuk memanggil jemaah untuk melakukan shalat atau ibadah.

Selain itu, ciri-ciri masjid kuno itu memiliki lantai bangunan yang lebih tinggi dari jalan. Artinya setiap orang yang akan memasuki masjid harus melewati tangga masjid. Ciri lainnya, memiliki ruang publik atau alun-alun disekitar bangunan masjid. “Dan hal ini juga dimiliki oleh Masjid Tua di Dusun Saluk,” beber Haeruddin.

Selanjutnya, Haeruddin bersama tim melakukan peninjauan ke Makam Opu Daeng Massese yang merupakan salah seorang tokoh yang dianggap oleh masyarakat mempunyai pengaruh yang sangat penting, utamanya terhadap pemerintahan lokal maupun terkait masalah penyiaran agama Islam.

“Jadi berdasarkan informasi, Opu Daeng Massese ini adalah selain pemimpin dengan pengaruhnya yang kuat, juga salah seorang penganjur agama Islam di daerah tersebut,” tuturnya.

Tim kemudian melanjutkan peninjauan ke sebuah makam lainnya yang berada di sebuah lokasi diatas ketinggian. Dimana oleh masyarakat Saluk menyebutnya, Makam Opu Bembeng.

Haeruddin mengungkapkan apabila lokasi dan bentuk dari sebuah pemakaman berada diketinggian, maka hal itu menandakan bahwa lokasi tersebut adalah tempat yang suci dan tokoh yang tempatkan atau dimakamkan ditempat itu adalah tokoh penting dan berpengaruh, berwibawa serta memiliki kharisma yang kuat. Karenanya, kata dia, tokoh tersebut dimakamkan ditempat yang suci.

“Seluruh agama menganut kepercayaan bahwa tempat yang tinggi itu diartikan sebagai kesucian, keagungan dan ketinggian derajat. Kenapa kemudian seorang tokoh penting selalu dimakamkan diatas ketinggian atau tempat yang tinggi salah satu alasannya adalah untuk mencapai moksa atau nirwana,” tutur Haeruddin.

Haeruddin menambahkan ia bersama tim melanjutkan peninjauan dan pengecekan terhadap 7 (tujuh) sumur tua yang jaraknya kira-kira sekitar 30 meter dibawah kemiringan lereng arah timur dari lokasi Makam Opu Bembeng. Sumur tersebut merupakan sumur tertua yang ada di Desa Bontoma Saluk.

“Sumur dan air adalah salah satu sumber kehidupan. Air adalah sesuatu yang vital dalam kehidupan manusia. Keberadaan sumur tua ini menjadi penanda bahwa ada peradaban pada masa lalu di salah satu kerajaan di Selayar ini,” terang Haeruddin.

Lebih lanjut, Haeruddin mengatakan lokus terakhir peninjauan situs cagar budaya yakni rumah adat “Sapo Lohe” Bontona Saluk. Dia mengungkap Sapo Lohe merupakan peninggalan yang sangat mencirikan bahwa bangunan itu sebuah bangunan adat yang berbeda dari bangunan lainnya.

Hal itu, kata Haeruddin, dibuktikan dengan adanya ornamen-ornamen yang memang mencirikan bahwa yang mempunyai rumah tersebut adalah bukan orang biasa, melainkan punya pengaruh kuat diwilayah itu. Seperti adanya batu pelantikan (Batu Pallantikang, dalam Bahasa Selayar) disekitar rumah adat.

“Setelah kami tinjau, rumah adat Sapo Lohe sendiri, memiliki tiang sebanyak 36 buah. Ada beberapa tiang yang berbentuk segi delapan, dan yang lainnya segi empat. Dari 36 tiang itu sudah manjadi pertanda bahwa ini juga salah satu bangunan kuno yang perlu dilestarikan,” jelas Haeruddin.

Untuk itu, Haeruddin selaku Pamong Budaya Ahli Madya Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Selatan, yang mewakili Kementerian Pendidikan, Dan Riset Dan Tekhnologi berharap kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar untuk memberikan perhatian dengan melakukan perlindungan dan pelestarian terhadap cagar budaya yang ada di Desa Bontona Saluk tersebut.

“Kami dari pihak Kementerian Pendidikan, Dan Riset Dan Tekhnologi Dirjen Kebudayaan dalam hal ini Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX, Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara berharap banyak kiranya pihak Pemerintah Dserah Kabupaten Kepulauan Selayar, sebagai pemilik cagar budaya tersebut untuk melakukan tindakan perlindungan dan pelestarian, karena dikhawatirkan cagar budaya tersebut rusak atau punah jika tidak diperhatikan,” imbuh Haeruddin.

Dia mengatakan beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Pemda Kepulauan Selayar dalam melakukan perlindungan dan pelestarian terhadap cagar budaya tersebut, misalnya dengan melakukan pemberian papan nama, papan informasi berdasarkan sejarah keberadaan cagar budaya tersebut.

“Bahkan jauh lebih bagus lagi jika Pemda Kepulauan Selayar menjadikan dan menetapkan Kampung Saluk sebagai Kawasan Cagar Budaya di Kepulauan Selayar,” ucapnya.

Haeruddin menjelaskan bahwa berdasarkan kewenangan antara pemrintah pusat dan daerah, maka tugas pokok Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Selatan terkait cagar budaya telah diserahkan sepenuhnya kepada Pemda Kepulauan Selayar. Pihaknya kini hanya memiliki tugas melakukan pendataan situs cagar budaya untuk kemudian dimasukkan kedalam data base bahwa di Kepulauan Selayar ada beberapa cagar budaya yang perlu diperhatikan.

Oleh karena itu, Haeruddin menyebut bahwa yang paling utama adalah peran Pemda Kepulauan Selayar, karena pemda-lah yang sesungguhnya mempunyai dan memiliki situs itu. Pemda Selayar melalui Tenaga Ahli Cagar Budaya (TACB) dapat melakukan penilaian terhadap cagar budaya yang ada di Bontona Saluk.

“Untuk penetapan situs cagar budaya bukan lagi oleh Kemdikbudristek, tetapi sudah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah melalui Surat Keputusan Bupati.  (Tim).

Tidak Ada Lagi Postingan yang Tersedia.

Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.