Bulukumba, WARTASULSEL — Biaya tes psikologi SIM (Surat Izin Mengemudi) Rp100 ribu yang berlaku di wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), diduga adalah pungutan liar atau pungli.
Selain itu, biaya tes psikologi SIM juga disebut sebut sebagai pembodohan terhadap warga.
Karena, biaya tes psikologi SIM Rp100 ribu diduga tidak berpayung hukum, tidak diatur dalam undang undang mana pun.
Hal itu sebagaimana yang diungkapkan oleh aktivis Pemerhati Masyarakat Sipil, Daeng Amir, warga Kabupaten Bulukumba, Sulsel.
“Biaya tes psikologi SIM Rp100 ribu adalah Pungli, karena tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) atau pun Peraturan Daerah (Perda),” tutur Amir ditemui Kamis (20/7/23).
“Beda dengan tarif tes kesehatan SIM, kalau itu ada Perdanya. Makanya saya minta ini dimuat (diberitakan) agar masyarakat tahu, karena ini (biaya tes psikologi SIM Rp100 ribu) Pungli dan pembodohan, membodoh bodohi masyarakat,” tandasnya.
Kasat Lantas Polres Bulukumba AKP Jamal yang dikonfirmasi mengaku bahwa hal itu bukan wewenang Satlantas karena dikelola oleh pihak ketiga.
“Bukan wewenang Satlantas makanya semua loket pelayanan tes psikologi di luar area Satpas. Silahkan hubungi pak Sahar pihak ketiga yang mengatur tes psikologi SIM,” ungkap Jamal.
Sementara itu, Sahar yang dikonfirmasi via telpon menampik bahwa biaya tes psikologi Rp100 ribu itu adalah Pungli.
Sahar mengaku telah bekerjasama dengan beberapa lembaga yang ada di Sulsel untuk menaikkan biaya tes psikologi SIM dari Rp50 ribu menjadi Rp100 ribu.
“Kami bekerjasama dengan beberapa lembaga di Sulsel dan disepakati menaikkan tarif tes psikologi SIM. Jadi kami itu pak, namanya Himpsi atau Himpunan Psikologi Indonesia,” ungkap Sahar.
“Yang mendasari kami menaikkan tarif dari Rp50 menjadi Rp100 ribu adalah berdasarkan rapat pimpinan tanggal 29 Desember 2022, pada rapat itu diputuskan menaikkan tarif tes psikologi pertanggal 3 Januari 2023 menjadi Rp100 ribu,” tambannya.
Saat ditanya apa regulasi atau payung hukum yang mengatur tarif tes psikologi SIM Rp100 ribu, Sahar tidak menjawab pertanyaan itu.
“Kami tidak bisa membuat Undang Undang sendiri pak,” terang Sahar.