Hakim Jangan Berlindung Dibalik UU Sispa, Orang Tua Korban Desak JPU Ajukan Banding

Hukum, Nasional173 Dilihat

Selayar – Orang tua Korban desak Jaksa Penuntut Umum (JPU) Mengajukan Banding perihal Putusan Mejelis hakim yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, terlebih lagi putusan tersebut pelaku hanya di kembalikan ke sekolah dan orangtua.

“Bagaimana tanggapan dan perspektif masyarakat apabila putusan tersebut diartikan juga sebagai “bebas” karena nyatanya dengan adanya putusan tersebut juga membuat pelaku dapat beraktifitas seperti biasa tanpa adanya pembatasan ruang gerak, sehingga diasumsikan bebas oleh orang tua korban,” ucap orang tua korban, Akbar, Jumat, (08/11/24).

Lanjut dikatakan, bahwa sesuai keterangan Jaksa katanya secara menyakinkan terpenuhi unsurnya, akan tetapi kenapa bukanlah putusan yang membatasi ruang gerak (pembinaan) yang dikenakan sebagai efek jera, malah dikembalikan pada orang tuanya.

Biasanya itukan tercapai apabila usaha diversi yang ditempuh penegak hukum disepakati oleh para pihak, baru kemudian putusannya dikembalikan ke orang tua pelakunya, karena apabila diversi ada unsur pemaaf dari keluarga korban, akan tetapi unsur kelalaian yang menghilangkan nyawa tetap terbukti.

“Ini usaha diversi sudah di tolak, akan tetapi putusannya tidak lazim, karena tidak ada unsur penjera dan memenuhi rasa keadilan pada keluarga korban” Jelasnya kepada wartawan.

Menurutnya, pihaknya sudah sangat mendukung dengan adanya tuntutan Jaksa agar dilakukan tindakan dengan perawatan di LPKS selama 10 Bulan, hal itu agar dapat meminimalisir cederanya rasa keadilan yang kami perjuangkan atas meninggalnya anak kami.

“Apakah majelis Hakim tidak mempertimbangkan bagaimana rasanya hati orang tua dan keluarga Korban saat melihat Pelaku masih bisa bebas kesana kemari, sedangkan Orang tua dan Keluarga Korban sudah kehilangan nyawa anak mereka, kenapa malah Hakim memilih “Tindakan” mengembalikan Pelaku kepada orang tua tanpa mempertimbangkan perasaan orangtua Korban”.

“Hakim bukannya memilih “tindakan” untuk memenuhi rasa keadilan tersebut dengan meminimalisir penampakan pelaku setelah vonis tersebut,” tambanya.

Dengan demikian, orangtua korban dan keluarga korban berharap ada rasa keadilan yang terpenuhi, bisa dibayangkan korban sudah hilang selama-lamanya dari orangtua korban, sedangkan dilain pihak pelaku masih dapat berkeliaran dengan bebas karena vonisnya cuma “dikembalikan pada orang tua” dan Wajib menjalani pendidikan Formal, Kenapa Hakim bukannya memutuskan “Tindakan” yang memberikan dan mengedapankan juga perasaan keluarga korban, apakah Hakim tidak mempertimbangkan sama sekali terkait Korban yang telah meninggal yang juga masih anak dibawah Umur, karena dalam UU SISPA juga memungkinkan untuk dilakukan “Perawatan di LPKS” seperti tuntutan Jaksa, yang dalam hal ini kami anggap sudah mengakomodir rasa keadilan bagi Keluarga Korban dan juga Amanat dari UU SISPA terkait “Tindakan” dalam perkara ini.

“Mudah mudahan ini bisa menjadi atensi masyarakat terkait objektifitas Hakim dalam menjatuhkan putusan. Kami ingin mengetahui bagaimana apabila Hakim yang memutus perkara ini mengalami seperti yang dialami oleh orang tua dan Keluarga Korban, apakah masih bisa tenang saat anak sudah kehilangan nyawa akan tetapi suatu saat masih bisa berjumpa dengan pelaku yang menyebabkan korban kehilangan nyawa, Hakim jangan berlindung dibalik UU SISPA, karena dalam UU SISPA itu juga masih ada pilihan lain saat berbicara mengenai “Tindakan” yang dikenakan terhadap anak yang dibawah 14 Tahun.

Mestinya Hakim harus lebih mengedepankan perasaan korban dan menjaga agar jangan sampai hal tersebut menjadi preseden buruk kedepannya, bagaimana apabila ada anggapan dengan adanya kasus ini bahwasanya, oh gampangmi kalau anak-anak balap-balap di Jalan, kemudian natabrak orangki sampai meninggal, tidak akan dipenjara ji, ka paling dikenakan “Tindakan” sesuai UU SISPA, bisa ji dikembalikan ke orangtuanya, yang penting ikut Sidang saja. Kalau seperti ini bisa memicu Hukum Jalanan dan perilaku “Main Hakim Sendiri” apabila ada yang menjadi korban dan pelakunya adalah anak dibawah Umur.

Kendati demikian, ia berharap Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan Banding atas Putusan Hakim pada Tingkat Pertama ini, hal itu sekaligus men “Challenge” putusan ini pada Tingkat berikut nya apakah pilihan “Tindakan” oleh Hakim pada Tingkat Pertama ini sudah sesuai dan memenuhi rasa Keadilan atau tidak. Orangtua Korban mengharap ada empati atas kasus ini, bagaimana apabila para penegak hukum tersebut mengalami seperti kasus ini, apakah bisa tenang saat mendapati putusan yang dirasa tidak memenuhi rasa keadilan bagi Korban.

“Mudah- mudahan pihak Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia bisa memberikan perhatian atas Kasus ini,” harap orangtua korban.

Diketahui Kronologi kejadian saat itu, Rabu (7/8/2024), sekitar pukul 17.50 Wita, pengendara motor RF (14 Th) Pelajar SMP, sedang mengendarai motor Honda Scoopy warna silver DD 6109 JD, dari arah selatan ke utara Jalan Kihajar Dewantara, dan menabrak Aisyila Putri Akira (12th), yang sedang menyeberang jalan dari arah barat ke timur.

Bahwa pelaku melanggar UU lalulintas dan angkutan dengan tidak memiliki SIM dan mengunakan kendaraan kecepatan tinggi yang menyebabkan pengguna jalan kaki meninggal dunia.

Dalam Pasal 281 Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur tentang sanksi bagi pengendara yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).

Selain itu, UU Nomor 22 Tahun 2009 juga mengatur tentang batas kecepatan di jalan, yang bunyinya bahwa Setiap jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional.

Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki SIM sesuai dengan jenis kendaraan yang dikemudikan. (Tim)

wartasulsel

Dari rakyat,Untuk Rakyat,Kembali Ke Rakyat