Majelis Dikdasmen & Pendidikan Non Formal PP Muhammadiyah & PWM Sulawesi Selatan dan Enuma Indonesia Menyelenggarakan Refreshmen EdutabMu

WARTASULSEL, Makassar, Edutabmu phase II Sulawesi Selatan (SulSel) melaksanakan kegiatan Pelatihan Refreshment Guru Program EdutabMu yang dilaksanakan di Mini Hall FKIP Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar dan dihadiri oleh 12 perwakilan Sekolah Dasar yang telah melaksanakan program Edutabmu.

Kegiatan ini juga dihadiri oleh Erwin Akib, Ph.D selaku Ketua Majelis Dikdasmen PNF Muhammadiyah sulsel,  dr. Patnja Nur Wahidin selaku Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi Selatan (Sulsel) serta Didik Suhardi Ph.D selaku Ketua Majelis Dikdasmen & PNF PP Muhammadiyah sekaligus membuka kegiatan.

Dalam sambutannya, Erwin Akib mengatakan bahwa 12 sekolah perwakilan yang hadir dalam kegiatan dapat memanfaatkan momen yang ada. 12 sekolah penerima EdutabMu mengirimkan masing-masing sekolah Guru IT dan Guru Kelas Pengelola EdutabMu di Sulawesi Selatan.

“Harapannya, hasil dari program edutabmu ini dapat dikembangkan dan menambah jumlah sekolah dari yang telah ada. Agar pemahaman guru lebih maju dan paham terkait kemajuan teknologi” ucapnya

Selain itu, program pendidikan edutabmu ini dapat menjadikan para guru lebih melek terhadap teknologi. Dilihat dari minat anak-anak sudah melek terhadap teknologi informasi maka guru-guru pun harus melek terhadap teknologi.

“Para guru memasuki dunia anak untuk memahami apa yang dibutuhkan oleh anak didik. 12 sekolah perwakilan menjadi sekolah percontohan dan ketika berhasil menjadi evaluasi dikdasmen untuk dikembangkan ke sekolah-sekolah lain.”  ucap dr. Patnja Nur Wahidin selaku Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam sambutannya.

Ketua Majelis Dikdasmen & PNF Muhammadiyah Didik Suhardi Ph.D juga mengatakan bahwa IT sudah menjadi kebutuhan dan menjadi hal yang dapat mempercepat proses manajemen. Dengan hadirnya Edutabmu ini, sebagai salah satu bahan untuk memperkaya, memperluas dan memperdalam mata pelajaran pada sekolah dasar.

“Hal ini juga dapat memberikan basic Numerik, jika basic numeriknya kuat. Bisa mempelajari mata pelajaran seperti matematika”, ungkapnya

Diakhir sambutannya, ketua majelis diksdasmen juga menyampaikan agar mengelola Muhammadiyah diniatkan sebagai ibadah kita dalam rangka mewujudkan generasi emas 2045.

Berikutnya pelatihan refreshment EdutabMu yang di dampingi intensif oleh Enuma Indonesia agar mendapatkan update pengembangan terbaru program EdutabMu.

Hartono Jaya : Politik Uang, Mengapa Suara Kita Harus Dibeli?

 

TULISAN ini dimulai dengan ilustrasi. Bayangkan jika Anda hidup dalam suatu kelompok yang jumlahnya beberapa lusin orang saja. Di lingkungan Anda itu ada banyak kelompok lain yang mungkin saja membuat Anda dan kelompok Anda kurang aman. Lalu muncul ide untuk membentuk organisasi yang akan menjadi wadah yang menyatukan dan melindungi anggota kelompok Anda. Ide itu menjamur ke banyak anggota kelompok. Lalu dimulailah pertemuan demi pertemuan untuk membahas pembentukan organisasi. Hasilnya semua sepakat dan berdirilah organisasi yang dicita-citakan itu.

Sekarang tiba saatnya bagian penting, memilih pemimpin organisasi. Bayangkan saat momen itu tiba, Anda dianggap tidak memiliki hak pilih oleh teman-teman Anda. Alasannya karena keberadaan kita tidak setara dengan kelompok yang lain. Bagaimana rasanya menjadi bagian dari suatu kelompok tetapi disaat yang sama tidak diakui (dianggap berbeda) hak pilihnya untuk memilih ketua organisasi? Martabat kita sebagai manusia yang setara pasti tercederai.

Dua paragraf di atas hanya sebuah ilustrasi saja. Tetapi ketiadaan hak pilih memiliki fakta dalam sejarah. Biasanya ketiadaan hak pilih dalam sejarah menyasar kaum perempuan. Dan orang-orang marah dengan keadaan seperti itu. Mereka yang marah itu mengorganisir diri untuk memperjuangkan hak pilihnya. Ada yang menempuh jalan damai dan ada juga jalan kekerasan sampai pada tahap mengorbankan nyawa demi memperjuangkan hak pilih.

Emily Davidson di Inggris contohnya. Sebagaimana disinggung Acemoglu dan Robinson dalam buku The Narrow Corridor, States, Societis, and The Fate of Liberty, pada 4 Juni 1913, dipacuan kuda Epsom Derby, saat pertandingan balapan kuda sedang berlangsung, Davidson berlari ke lintasan Anmer, kuda milik Raja George V dengan membawa bendera Suffragettes (pejuang hak suara perempuan) warna ungu, putih, dan hijau. Emily Davidson terlindas oleh kuda dan meninggal empat hari kemudian akibat luka yang dideritanya.

Namun, setelah pengorbanan mengerikan yang dilakukan Dividson itu, hak suara perempuan di Inggris tidak serta merta diberikan. Butuh lima tahun setelah kejadian itu, barulah perempuan memiliki hak suara dalam Pemilihan Parlemen di Inggris. Betapa Panjang, keras, dan terjalnya perjuangan kaum perempuan hanya untuk memiliki hak pilih yang setara dengan laki-laki. Ini hanya salah satu contoh perjuangan hak pilih kaum perempuan. Di Amerika perjuangan hak pilih perempuan juga terjadi dalam waktu yang panjang. Mereka butuh waktu 70 tahun hanya untuk meloloskan ketentuan hak pilih perempuan dalam konstitusi Amerika.

Jika memang memiliki hak pilih sebagai warga negara begitu penting, berkaitan dengan eksistensi kita sebagai manusia yang setara, lalu mengapa suara kita harus dibeli hanya untuk digunakan dalam Pemilihan Umum? Untuk menjawab pertanyaaan ini, saya terlebih dahulu akan menguraikan problem politik uang yang didasarkan pada beberapa literatur dan pengamatan pribadi selama Pemilu ataupun Pemilihan (Pilkada) berlangsung.

Memahami Masalah Politik Uang

Menurut Burhanuddin Muhtadi, pada 1970-an, saat terjadi gelombang ketiga dan keempat demokratisasi versi Huntington, Pemilu telah menjadi norma global. Namun optimisme itu harus ditinjau ulang ketika fakta menunjukkan bahwa banyak negara hanya memenuhi standar minimal demokrasi.

Salah satu problem yang melanda demokrasi adalah maraknya politik uang. Pemilu menjadi ajang jual beli suara yang fatal bagi kesehatan Lembaga politik kita. Mengapa? Karena politik uang adalah bentuk manipulasi elektoral yang benar-benar tidak mencerminkan kehendak politik dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Burhanuddin Muhtadi dalam buku “Kuasa Uang, Politik Uang dalam Pemilu Pasca Orde Baru” mendefinisikan politik uang sebagai usaha terakhir dalam memengaruhi keputusan pemilih dalam memberikan suara di Pemilu, yang dilakukan beberapa hari atau bahkan beberapa jam sebelum pemungutan suara, dengan cara memberikan uang tunai, barang, atau keuntungan material lainnya kepada pemilih. Bahasa sederhananya adalah “Serangan Fajar”.

Masalahnya sekarang adalah seberapa efektifkah politik uang dalam meningkatkan perolehan suara bagi seorang politisi dalam Pemilihan Umum maupun Pilkada?

Jawaban yang diberikan Burhanuddin Muhtadi sangat kontra intuitif. Kita selalu mengira politik uang sangat efektif meningkatkan peroleh suara seorang politisi. Jawabannya sebenarnya: “politik uang sangat tidak efektif dalam mendongkrak peroleh suara seorang politisi”. Tapi jawaban ini telah diuji secara kuantitatif oleh Burhanuddin Muhtadi.

Jika demikian jelas pertanyaan susulan muncul: “lalu mengapa politik uang terus dilakukan oleh para politis?” jawabannya seperti ini: memang kurang efektif dalam mendongkrak perolehan suara, tetap cukup untuk memperoleh margin kemenangan dalam kompetisi antar politisi dalam satu palagan politik.

Jawaban ini cukup masuk akal, terutama dalam pemilihan anggota legislatif. Sedikit saja selisih suara adalah penting untuk mengalahkan pesaing dalam satu partai.

peningkatan partisipasi pemilih.

Alasan kedua adalah politisi yang sedang berkompetisi membutuhkan margin kemenangan dengan lawannya. Sebagaimana sudah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, sekalipun politik uang tidak signifikan dalam meningkatkan perolehan suara, tetapi cukup signifikan sebagai taktik memperoleh selisih kemenangan dari lawan politiknya.

Kedua alasan yang diuraikan di atas saling berkaitan satu sama lain dan membentuk lingkaran setan yang tiada putusnya. Karena watak politik yang ekstraktif, efikasi politik masyarakat menjadi rendah. Karena efikasi politik yang rendah maka suara harus dibeli. Politisi harus menjadi pembeli suara agar mereka memperoleh tambahan suara untuk memperoleh kemenangan. Kemudian berlanjut lagi, karena mereka membeli suara, maka politisi harus memperkaya diri. Menyebabkan watak politik yang ekstraktif, rendahnya efikasi politik, dan politik transaksional. Begitu seterusnya.

Berdasarkan uraian itu, sulit rasanya memutus mata rantai antara politik uang dan efikasi politik yang rendah karena Lembaga politik yang ekstraktif. Kampanye anti politik uang yang dilakukan selama ini dengan pendekatan matematika, jumlah uang diterima dibagi per bulan dalam lima tahun lalu kemudian perhari. Nilainya menjadi sangat kecil lalu di kaitkanlah dengan martabat kita sebagai warga negara.

Kampanye seperti itu sama sekali salah sasaran. Tidak mengena pada inti persoalan. Politik uang tidak sesederhana itu. Bukan lagi soal martabat yang setara sebagai manusia sebagaimana ilustrasi di awal tulisan ini. Martabat benar-benar kabur, sebab sejak awal masyarakat sudah merasa kehilangan martabatnya di hadapan culasnya watak Lembaga politik kita yang ekstraktif.

Hartono jaya

MUH. ARWIB PEMUDA PENGGIAT DEMOKRASI : PENTINGNYA DEBAT PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU DALAM MEWUJUDKAN DEMOKRASI YANG BERKUALITAS

Wartasulsel – Bahwa undang-Undang No 7 tahun 2017 pada pasal 1 ayat satu: Pemilihan umum yang selanjutnya di sebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat anggota dewan perwakilan Daerah dan Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,yang di laksanakan secara langsung ,Umum,Bebas Rahasia,Jujur dan Adil,Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan undang-undang dasar tahun 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh karena itu dapat tergambar dengan jelas berapa besarnya perang partai politik dalam momentum pemilihan umum , bahwa selain calon anggota Dewan perwakilan Daerah peserta pemilu baik Presiden dan Wakil presiden, DPR , DPRD , semua sangat tergantung oleh partai politik siapa figur yang akan di jadikan calon. Begitu pula dengan pilkada,sehingga menurut pemikiran saya ke depan KPU sebagai penyelenggara teknis pemilu memberikan satu tahapan debat Visi dan Misi partai politik,sehingga pesan tentang Ideologi dan Basis perjuangan partai politik peserta pemilu tersampaikan kepada masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi Demokrasi dalam menentukan pilihan partai mana yang menurut mereka mempunyai Ideologi dan orientasi perjuanga. Yang betul-betul mempunyai keberpihakan kepada kepentingan rakyat tentu saja lewat penyampaian visi dan misi partai politik yang sistematis , terukur , dan ankuntabel sesuai dengan basis perjuangan partainya.

Rakyat sebagai pemilik suara wajib mengetahui visi dan misi partai politik,karena dalam mewujudkan Demokrasi yang berkualitas dimana Rakyat bebas menentukan pilihannya salah satu variabelnya adalah tersampaikannya visi dan misi partai politik sehingga akan jelas apakah visi dan misi yang disampaikan. Oleh partai politik sebagai peserta pemilu sesuai atu tidak dengan kehendak Rakyat.

Bila melihat realitas selama ini,pemilu hanya di dominasi oleh para caleg yang hanya banyak membicarakan tentang apa yang akan di lakuka. Secara pribadi apabila terpilih menjadi anggota DPR atau anggota DPRD yang oleh calegnya sendiri terkadan belum memahami sesungguhnya apa yang menjadi ruh perjuangan dari partai politik yang mencalonkannya.

Tidak Ada Lagi Postingan yang Tersedia.

Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.